• Tulisan Teratas

  • Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui email.

    Bergabung dengan 342 pelanggan lain
  • Blog Stats

    • 182.848 hits
  • Arsip

  • Internet Sehat
  • Kategori

  • Yang sudi mampir

    Habib pada Misteri Tokek Bag. I
    Abdi Jaya pada Pelarian
    angga pratomo pada Pelarian
    Abdi Jaya pada Melepas Jenuh di Pantai Ujung…
    wahyuancol pada Melepas Jenuh di Pantai Ujung…
    Olivia Paquin pada Karang Anyar, Bak Telaga …
  • Alexa Certified Site Stats for www.m4rp4un6.wordpress.com
  • Dukung Wisata Jogja

    Yogyakarta / Jogja
  • award-luv-ur-blog-dari-fanny1
  • Yang Singgah

  • Meta

Life is a Choice

Telah kutinggalkan kota Meulaboh yang sempat kutiduri selama 3 tahun. Kota Meulaboh tempat dimana aku bekerja dan berkarya (karya yang tak bisa disebutkan saking banyaknya?) dan tempat dimana aku menjalani derita dan suka cita bersama teman-teman satu kerjaan.

Sedih memang meninggalkan teman-teman, apalagi teman yang usianya di atasku yang sudah kuanggap sebagai abang sendiri. Meninggalkan anak-anak (beneficieries). Rasanya begitu berat, dada terasa sesak, tapi mau tak mau ya harus dijalani demi tanggung jawab dan masa depan.

Hidup adalah pilihan. Itu kalimat yang acapkali kutemukan di buku. Pilihan-pilihan itu begitu banyak hingga harus ada kematangan berfikir untuk memutuskan sebuah pilihan. Artinya memilih itu tidak gampang, kita akan menghadapi konsekuensi atas pilihan yang kita tetapkan. Apakah yang kita pilih itu nantinya akan membuat kita lebih baik dari sebelumnya atau tidak.

Tapi yang manapun semua adalah yang terbaik. Hanya saja kita punya alasan dan ukuran tersendiri atas setiap pilihan itu. Banyak orang menaruh harapan pada satu pilihannya, lalu kemudian menjalaninya. Ada yang sampai pada harapannya ada pula yang tidak.

Ada yang tidak mau memilih. Tetap menjalaninya sebagaimana biasa karena kita telah menikmatinya dan merasa nyaman. Kalo psikolog bilang, Baca lebih lanjut

Meulaboh…

Kota Meulaboh sedikit demi sedikit mulai berbenah. Milyaran uang dihabiskan guna membangun drainase-drainase di sepanjang jalan protokol dan jalan-jalan yang menyimpan bangunan-bangunan strategis.

Barangkali ini semua untuk mengantisipasi banjir. Apalagi hujan terus mengguyur sepanjang Oktober dan Nopember. Namun di beberapa titik yang telah baik drainasenya masih terdapat genangan air setinggi satu hingga dua centimeter di badan jalan. Kok bisa? Drainase sudah diperbaiki namun air masih juga tergenang…

Beberapa jalan juga sudah mulai ramai dengan rambu. Entah kapan dipasang, mungkin tiga atau empat hari yang lalu. Warna kuningnya yang mencolok dan gambar rambu berwarna hitam menerangkan pertigaan, jalan lurus, tidak boleh belok ke kanan, dan sebagainya.

Ada juga yang berwarna biru dan merah, menandakan bahwa di sampingnya berdiri sebuah puskesmas. Hmmm… lumayanlah, orang akan semakin mudah membaca rambu-rambu paling tidak bagi yang pertama kali melewati jalan itu.

Jalan Swadaya belum pulih saat Baca lebih lanjut

AADD (Ada Apa Dengan Durian)

Di Meulaboh lagi musim durian loh, selain itu juga musim jual durian, terus musim juga orang makan durian. Ha…ha…ha…

Ngomongin soal durian, tahukah kawan-kawan kalau durian itu ternyata buah yang sangat jahat.

Lho kok?

Iya! Cobalah tumbok kalo berani kalo nggak langsung di perban tuh tangan.

Maaf, paragraf pertama dan kedua ngawur. Tapi kalo yang ketiga ini pasti nggak. Percayalah.

Tadi malam aku ketemuan sama dua orang (nama dirahasiakan), satu cowok, satunya cewek. Kami ngobrolin soal pembuatan film, intinya aku diajak jadi asisten, keren kan? kerjaannya, disuruh megang-megang tripod, micropone, yah kayak gitu lah.

Selesai ngobrol ngarol ngidul, terbitlah lapar. Si cowok ngajak kami ke jembatan besi buat ngamen, beli durian. Asyik! Wah, manteb nih. Udah lama gak makan durian. Ada setahun kayaknya gak makan durian. Terakhir makan durian waktu beli dodol rasa durian di Pasar Bengkel. Itu sama nggak ya?

Berjalanlah kami dari Wisma Ibunda ke Jembes, rencana mau naik becak mesin. Tapi karena tukang becak tuh pasang tarif tinggi, gak jadi deh. Akhirnya bergeal-geollah dengkul kami sampe ke Jembes.

Sudah banyak tukang jual durian beserak di pinggir jalan. Ada yang megang parang. Ada yang teriak “Mampir bang…” Kamipun mendekati penjual durian yang terdiri dari 5 orang. Lebih banyak penjualnya nih dari pembeli.

Si penjual menawarkan duriannya dengan bahasa Aceh, aku pun mengangguk-ngangguk. Biar dikira ngerti aja. Terus aku tanya harga duriannya. “Padum sa boh?” (bener nggak nih nulisnya?)

Dia menjawabnya dengan bahasa Aceh lagi. Mampus aku. Tapi aku sedikit ngerti apa yang dia maksud. Dia bilang, “Abg pilih aja dulu, kan gak enak kalo nanti kubilang harganya, sedangkan buahnya ada yang besar dan ada yang kecil.” kata si penjual sambil memilihkan buah durian untuk kami.

Akhirnya kami memilih 3 buah durian dan terjadilah tawar menawar harga dan tercapailah kesepakatan harga sebesar Rp. 30.000 untuk 3 biji. Lumayan kan… Besar-besar loh.

Durian gak dibawa pulang, jadi jangan ngiler ya woi… Kami makan disitu. Baru satu durian dibuka, hujan pun melanda. Deras pulak. Kami pun berteduh di tempat orang jual durian itu. Jadi gak ada beda kami sama penjual durian. Bedanya, kami makan durian, :D, mereka nengok’in kami.

Maju kena, mundur kena. Ternyata tenda yang mereka pasang udah bolong-bolong, mau minggir kemana juga tetap ketetesan air hujan. Ya udahlah, pasrah aja. Yang penting makan durian. Cuma pulangnya nih yang pening, udah tukang becak jarang, kalo ada pun mahal ongkosnya.

Untunglah, begitu durian terakhir dibelah, tukang becak pun lewat.

“Panggil tuh becak.” Kata si cowok

“Cak! Becak!” Teriakku

Becakpun menepi. Kami langsung ngedusel ke dalam becak yang udah dibungkus plastik itu supaya tak kena hujan. Sisa durian tadi pun aku bawa serta. Mubazir kan kalo ditinggal disitu.

Karena si cewek belum makan nasi. Kami pun memutuskan beli nasi di warung Bombay dan meminta tukang becak itu untuk menuju ke arah simpang Swadaya. Tapi, entah kenapa tukang becak malah mau bawa kami ke bombay I yang di Lapang sana. Busyet lah.

Akhirnya muter lagi kami ngelewatin kantor Bupati dan masuk dari simpang yang tembus ke jalan Swadaya. Udah ujan, makin lama-lama pulak di jalan.

Di Bombay, hujan makin deras. Tukang becak menunggu kami memesan nasi bungkus.

“Parah kali tukang becak ini ya, entah diantarnya kita sampe depan bombay ini. Kurang banget pelayanannya.” Kata si cewek yang kesel karena becak cuma berhenti di pinggir jalan. Padahal hujan masih deras.

Supaya kami gak basah lagi, kupanggil lah tukang becak itu supaya lebih merapat ke warung. Dia pun mau.

Naiklah kami bertiga ke dalam, aku duduk di batangan besi menghadap kedua orang ini. Wuih, tak enak kurasa pantatku.

Ternyata, tukang becak susah memutar balik becaknya. Diapun memundurkan becaknya dan Opss…

Woi… woi!!!

Kenapa pulak si cowok ini teriak-teriak.

Woi… basah ini!!!

Tukang becak salah mundur, dia malah memundurkan becaknya ke arah pancuran air, habislah celana si cowok kena air pancuran. Aku dan si cewek ketawa setengah idop. Panteslah dia teriak-teriak.

Perjalanan dilanjutkan dan membawa kami ke wisma. Kedua insan itu turun dan membayar ongkos becak dengan melebihkannya. Baik juga si cowok. Aku tidak turun lagi, tapi meminta tukang becak mengantarkanku ke kantor.

Durian itu masih ada di tanganku. Aku ingat kata si cowok tadi. “Kau bawa-bawa durian itu, bikin berantam aja kau.”

Iya pulak ya, durian sebelah gini dibawa. Sementara orang di kantor berjubel.

“Pak, ini ada durian. Untuk bapak aja ya.” Kataku sambil turun dari becak dan berlari ke dalam kantor. Aku sempat mendengar tukang becak ketawa senang.

Kecewa Berlipat Ganda

Nggak nyangka, Spanyol bisa KO melawan Swiss. Padahal dari segi materi pemain, Spanyol lebih diunggulkan ketimbang Swiss, tapi yang namanya permainan pasti ada kalah dan menang, dan Spanyol akan belajar banyak dari pertandingan malam tadi.

Bagi yang mengidolakan Spanyol tentu merasa kecewa dan sedih. Saya yang ngefans sama Casillas juga kecewa, Casillas yang berupaya menghalau bola dengan kakinya justru malah membuat bola mental ke arah gawangnya yang langsung dicocor Fernandes menjadi sebuah kado pahit buat Tim Matador.

Kekecewaan saya juga menjadi berlipat ganda karena Baca lebih lanjut

Sukuran dan Indahnya Kebersamaan

Masa pemerasan otak sudah selesai. Itu loh Ujian Nasional yang banyak ditakuti anak-anak kelas III. Selesainya UN menjadi hari kemerdekaan baru bagi mereka, apalagi setelah moment lulus-lulusan.

Nah, banyak berbagai cara para siswa-siswi merayakan kelulusannya. Ada yang corat coret baju, pawai motor keliling kota, sampe ada yang merayakannya dengan cara melakukan maksiat. Astaghfirullah…

Tapi tidak semua siswa-siswi seperti itu lho. Beberapa adik-adik yang menjadi anak dampingan (anak-anak yang menjadi penerima manfaat dari program yang dijalankan sebuah lembaga) melakukan kegiatan positif dalam menyambut kelulusannya. Mereka mengadakan acara sukuran secara formal dengan melakukan acara doa bersama dan meminta pesan dan motivasi dari kakak dan abang yang sering menjadi fasilitator mereka dalam sebuah kegiatan. Salah satunya aku loh. Kebetulan mereka meminta aku membacakan doa untuk mereka (mentang-mentang awak ini bertampang alim kali ya…). Kami juga diminta mereka memberikan semacam kata motivasi dan pesan buat mereka yang bakal melanjutkan perguruan tinggi dan tingkat sekolah atas.

Ternyata acara tidak hanya sukuran doang. Masing-masing mereka sudah membawa rantang dari rumah masing-masing. Anak-anak mengajak kami untuk makan bersama di Pantai Bubon, salah satu pantai di Kabupaten Aceh Barat yang jarak tempuhnya kira-kira 8 Km dari Kota Meulaboh.

Melajulah mobil jenis L300 mengantarkan kami ke pantai Bubon. Suasana pantai tampak sunyi. Tampaknya laut sedang pasang, warna air laut pun sudah memutih keruh. Hanya tampak dua perahu yang berusaha mengalahkan Baca lebih lanjut

Tertunda Karena Gempa

Gempa yang terjadi siang kemarin kembali mengundang trauma dan kesedihan di masing-masing hati anak-anak Aceh Barat. Betapa tidak, masih terasa bagaimana gempa dan tsunami yang melanda di desember 2004 memporakporandakan bangunan apapun, memisahkan orangtua dengan anaknya, memberikan pemandangan yang luar biasa dahsyat sehingga kenangan itu tidak akan pernah terlupakan bagi setiap mata yang menyaksikannya.

Begitu juga dengan anak-anak yang mengikuti pelatihan menjadi konselor sebaya pada hari minggu kemarin (9/5/2010), mereka berhamburan keluar dari gedung yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari bibir pantai, melontarkan tangis dan histeris hingga ada yang tak sadarkan diri dengan airmata yang terus mengalir membasahi jilbab mereka.

Kakak-kakak fasilitator meminta mereka tenang seraya merangkul mereka yang hampir tidak kuat lagi berdiri di kakinya masing-masing. Lalu dengan cepat mengevakuasi mereka ke kantor yang berada di kota. Begitupun anak yang meminta pulang tetap diantarkan hingga disambut orangtuanya di rumah.

Anak-anak perempuan nampak yang lebih trauma dengan gempa dan tsunami, tampak mata mereka semua berkaca-kaca, sedangkan anak lelaki nampak lebih kuat seperti tidak ada rasa trauma yang mereka rasakan. Baca lebih lanjut