Di Meulaboh lagi musim durian loh, selain itu juga musim jual durian, terus musim juga orang makan durian. Ha…ha…ha…
Ngomongin soal durian, tahukah kawan-kawan kalau durian itu ternyata buah yang sangat jahat.
Lho kok?
Iya! Cobalah tumbok kalo berani kalo nggak langsung di perban tuh tangan.
Maaf, paragraf pertama dan kedua ngawur. Tapi kalo yang ketiga ini pasti nggak. Percayalah.
Tadi malam aku ketemuan sama dua orang (nama dirahasiakan), satu cowok, satunya cewek. Kami ngobrolin soal pembuatan film, intinya aku diajak jadi asisten, keren kan? kerjaannya, disuruh megang-megang tripod, micropone, yah kayak gitu lah.
Selesai ngobrol ngarol ngidul, terbitlah lapar. Si cowok ngajak kami ke jembatan besi buat ngamen, beli durian. Asyik! Wah, manteb nih. Udah lama gak makan durian. Ada setahun kayaknya gak makan durian. Terakhir makan durian waktu beli dodol rasa durian di Pasar Bengkel. Itu sama nggak ya?
Berjalanlah kami dari Wisma Ibunda ke Jembes, rencana mau naik becak mesin. Tapi karena tukang becak tuh pasang tarif tinggi, gak jadi deh. Akhirnya bergeal-geollah dengkul kami sampe ke Jembes.
Sudah banyak tukang jual durian beserak di pinggir jalan. Ada yang megang parang. Ada yang teriak “Mampir bang…” Kamipun mendekati penjual durian yang terdiri dari 5 orang. Lebih banyak penjualnya nih dari pembeli.
Si penjual menawarkan duriannya dengan bahasa Aceh, aku pun mengangguk-ngangguk. Biar dikira ngerti aja. Terus aku tanya harga duriannya. “Padum sa boh?” (bener nggak nih nulisnya?)
Dia menjawabnya dengan bahasa Aceh lagi. Mampus aku. Tapi aku sedikit ngerti apa yang dia maksud. Dia bilang, “Abg pilih aja dulu, kan gak enak kalo nanti kubilang harganya, sedangkan buahnya ada yang besar dan ada yang kecil.” kata si penjual sambil memilihkan buah durian untuk kami.
Akhirnya kami memilih 3 buah durian dan terjadilah tawar menawar harga dan tercapailah kesepakatan harga sebesar Rp. 30.000 untuk 3 biji. Lumayan kan… Besar-besar loh.
Durian gak dibawa pulang, jadi jangan ngiler ya woi… Kami makan disitu. Baru satu durian dibuka, hujan pun melanda. Deras pulak. Kami pun berteduh di tempat orang jual durian itu. Jadi gak ada beda kami sama penjual durian. Bedanya, kami makan durian, :D, mereka nengok’in kami.
Maju kena, mundur kena. Ternyata tenda yang mereka pasang udah bolong-bolong, mau minggir kemana juga tetap ketetesan air hujan. Ya udahlah, pasrah aja. Yang penting makan durian. Cuma pulangnya nih yang pening, udah tukang becak jarang, kalo ada pun mahal ongkosnya.
Untunglah, begitu durian terakhir dibelah, tukang becak pun lewat.
“Panggil tuh becak.” Kata si cowok
“Cak! Becak!” Teriakku
Becakpun menepi. Kami langsung ngedusel ke dalam becak yang udah dibungkus plastik itu supaya tak kena hujan. Sisa durian tadi pun aku bawa serta. Mubazir kan kalo ditinggal disitu.
Karena si cewek belum makan nasi. Kami pun memutuskan beli nasi di warung Bombay dan meminta tukang becak itu untuk menuju ke arah simpang Swadaya. Tapi, entah kenapa tukang becak malah mau bawa kami ke bombay I yang di Lapang sana. Busyet lah.
Akhirnya muter lagi kami ngelewatin kantor Bupati dan masuk dari simpang yang tembus ke jalan Swadaya. Udah ujan, makin lama-lama pulak di jalan.
Di Bombay, hujan makin deras. Tukang becak menunggu kami memesan nasi bungkus.
“Parah kali tukang becak ini ya, entah diantarnya kita sampe depan bombay ini. Kurang banget pelayanannya.” Kata si cewek yang kesel karena becak cuma berhenti di pinggir jalan. Padahal hujan masih deras.
Supaya kami gak basah lagi, kupanggil lah tukang becak itu supaya lebih merapat ke warung. Dia pun mau.
Naiklah kami bertiga ke dalam, aku duduk di batangan besi menghadap kedua orang ini. Wuih, tak enak kurasa pantatku.
Ternyata, tukang becak susah memutar balik becaknya. Diapun memundurkan becaknya dan Opss…
Woi… woi!!!
Kenapa pulak si cowok ini teriak-teriak.
Woi… basah ini!!!
Tukang becak salah mundur, dia malah memundurkan becaknya ke arah pancuran air, habislah celana si cowok kena air pancuran. Aku dan si cewek ketawa setengah idop. Panteslah dia teriak-teriak.
Perjalanan dilanjutkan dan membawa kami ke wisma. Kedua insan itu turun dan membayar ongkos becak dengan melebihkannya. Baik juga si cowok. Aku tidak turun lagi, tapi meminta tukang becak mengantarkanku ke kantor.
Durian itu masih ada di tanganku. Aku ingat kata si cowok tadi. “Kau bawa-bawa durian itu, bikin berantam aja kau.”
Iya pulak ya, durian sebelah gini dibawa. Sementara orang di kantor berjubel.
“Pak, ini ada durian. Untuk bapak aja ya.” Kataku sambil turun dari becak dan berlari ke dalam kantor. Aku sempat mendengar tukang becak ketawa senang.
Filed under: Ceritaku | Tagged: durian, hujan, manggeng, Meulaboh, tukang becak | 1 Comment »