Di kota Tebing Tinggi saat ini lagi musim hujan. Tapi itu biasa. Yang tidak biasa adalah musim durian. Di jalan-jalan protokol terlihat buah berduri itu beselemak peak di pinggir jalan baik di atas trotoar maupun di atas mobil pick up. Bentuk buah duriannya pun bermacam-macam. Ada yang oval seperti telur. Ada yang berbentuk seperti pepaya. Ada yang sudah dibelah dan ada yang tinggal kulitnya karena sudah dimakan. Entah oleh siapa.
Gerombolan durian itu memang nampak menggoda jika dilihat sambil lalu dan korban dari godaan durian itu adalah isteriku. Malam itu sewaktu menjemputnya dari tempat kerja untuk pulang, dia bertanya dengan kalimat mencurigakan.
“Abang nggak pengen makan durian?”
Aku yang mendadak mendapat pertanyaan seperti itu segera merespon dengan cepat.
“Mmm… Kenapa? Adek kepengen durian ya?”
Dia tidak menjawab. Kata guru MAN ku dulu, kalau perempuan ditanya sesuatu dan dia diam, itu tanda setuju. Tapi guruku mencontohkan anak perempuan yang mau dijodohkan sama bapaknya. Mungkin bisa dianalogikan sama kejadian ini.
“Ya udah, kalo kepengen abang putar lagi nih keretanya.” Lalu kuputar keretaku dengan jari telunjuk seperti pemain basket profesional. Ada senyum diwajahnya. Itu artinya dia senang bakal makan durian dan lebih senang lagi kalau aku yang mentraktir.
Checkpoint durian itu ada di persimpangan. Kulihat beberapa buah durian tersusun rapi di atas mobil pick up. Aku memakirkan keretaku lalu memilah-milih durian, mengciumnya dengan hati-hati, meraba-raba durinya.
“Durian dari mana ini bang?” Tanyaku sama laki-laki tanggung yang ada di samping mobil pickup itu.
“Nggak tau.”
“Berapa bang harga yang ini?” Tanyaku sambil menunjukkan buah durian yang paling besar. Pastilah ini raja durian. Karena dia yang paling besar diantara durian yang ada disitu.
“Nggak tau.”
“Lho, abang yang jual?” Aku mulai emosi karena jawabannya selalu tidak tau.
“Bukan.”
“Dasar kampretos. Kirain yang jualan.” Tapi dalam hati.
Tak lama keluar anak laki-laki tanggung dari dalam mobil dan mendekati kami lalu pura-pura ramah. Pastilah orang ini yang jualan.
Kuulangi pertanyaan yang salah sasaran tadi. Katanya durian-durian ini dari Sipispis. Sebuah daerah yang letaknya tidak jauh dari kota Tebing Tinggi.
“Berapa harga yang ini?” Tanyaku sambil menunjukkan durian yang besarnya agak sedikit lebih kecil dari helm LTD.
“Kalo yang itu dua puluh ribu bang.”
“Kok mahal kali.”
“Wiiihhh… udah murah itu bang.”
“Kan durian dari Sipispis biasanya murah.”
“Wiiihhh… sama aja itu bang.”
Nggak kutanya “sama aja” itu maksudnya sama durian yang mana.
“Lima belas ribu ya, biar ambil dua.”
“Wiiihhh… janganlah bang.”
Anak tanggung ini selalu menjawab pake WIIIHHH… sambil mengayunkan kepalanya. Aneh.
Aku memilih-milih lagi. mencium dan meraba-raba lagi. Kubanting pelan durian itu ke lantai pickup. Biasanya kalo durian yang isinya lemak itu agak menggema bunyinya. Beppp… gitu.
Tiba-tiba yang kutanya tadi lari bersama seseorang yang berjenis kelamin sama dengan dia. Sepertinya mereka berebut masuk ke dalam mobil. Kudengar sepintas kalau anak tanggung yang ngomong pake wiiihhh tadi udah ngantuk dan dia mau tidur. Sedangkan partnernya entah baru kembali darimana dan harus gantian melayani pembeli.
Anak tanggung yang baru muncul tadi mendekatiku.
“Yang mana bang?” Dia nanya.
“Yang ini sama yang ini ya. Berapa harganya?” Aku menunjuk dua buah
“Tiga puluh lima ribu aja bang.” Dia jawab sambil megang pisau. Dia pasti bukan mau nodong.
“Mahal kali. Tiga puluh ribu ya.”
Dia mengangguk, terus pisaunya dia buat untuk memotong tali. Padahal tali itu bukan ayam.
Isteriku tadinya mau makan di tempat itu juga. Tapi akunya bilang di rumah aja. Supaya kalau tidak habis dimakan bisa disimpan di tupperware atau dikolak besoknya. Karena isteriku baik budi, dia menurut. Menurut siapa? Menurutku. Mungkin setan jahat bilang, “dasar suami egois”. Eh, jadi suudzon sama setan. Selepas si penjual mengikat durian itu, aku pun pulang sambil membawa isteriku yang menenteng durian.
Makan durian di lapak penjualnya itu sebenarnya seru. Kita nggak perlu belah duren sendiri jadi gak takut kena durinya. Kalau misalnya duren yang dibelah itu busuk atau mentah, bisa langsung ditukar sama durian juga. Sampai-sampai muncul sinetronnya “Durian Yang Tertukar”. Terus kalau makan disitu kita bisa pamer sama orang-orang yang lewat di situ, sama tukang parkir, sama orang yang jualan juga. Kulit duriannya menjadi tanggungjawab yang jualan karena tidak diwajibkan untuk dibawa pulang. Terus kalau kurang, kita bisa langsung pilih dan beli lagi. Repotnya adalah kalau mau cuci tangan dan mau ngelap mulut sehabis makan duren. Itu penjual cuma ngasi kobokan dengan air yang sedikit dan kain lap yang kumal. Hiiii… mulut siapa aja lah yang udah nempel disitu.
Sementara kalau makannya di rumah agak sedikit kurang nyaman sama tetangga. Bau durian itu bisa memancing tetangga jadi kepingin durian atau bisa juga jadi mual kalau tetangga itu alergi durian.
Akhirnya aku belah durennya di rumah dan warnanya sedikit kekuningan. Orang menyebutnya itu durian tembaga. Ada juga yang menyebutnya durian mentega. Tapi perbedaan nama itu tidak menjadi masalah buat durian. Karena yang terpenting itu bukanlah bagaimana cara memakannya atau dimana memakannya, tapi bagaimana cara membelahnya dan sepertinya saat itu sedang turun hujan.
Filed under: Ceritaku, Jalan-jalan, Make me Smile, My Story, Sejarah Linear | Tagged: durian bergincu, durian medan, durian tebing, durian ucok, sipispis, tebing tinggi | 2 Comments »