• Tulisan Teratas

  • Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui email.

    Bergabung dengan 342 pelanggan lain
  • Blog Stats

    • 182.845 hits
  • Arsip

  • Internet Sehat
  • Kategori

  • Yang sudi mampir

    Habib pada Misteri Tokek Bag. I
    Abdi Jaya pada Pelarian
    angga pratomo pada Pelarian
    Abdi Jaya pada Melepas Jenuh di Pantai Ujung…
    wahyuancol pada Melepas Jenuh di Pantai Ujung…
    Olivia Paquin pada Karang Anyar, Bak Telaga …
  • Alexa Certified Site Stats for www.m4rp4un6.wordpress.com
  • Dukung Wisata Jogja

    Yogyakarta / Jogja
  • award-luv-ur-blog-dari-fanny1
  • Yang Singgah

  • Meta

Sungai Parbahingan, Indah namun Berbahaya

Sungai Parbahingan dinamai sama dengan keberadaannya yaitu di Desa Parbahingan Kec. Kotarih Kab. Serdang Bedagai. Untuk sampai menuju kesana tidaklah sulit, karena bisa dilacak melalui google map. Kondisi jalan juga lumayan baik, dapat dilalui kendaraan roda empat. Hanya saja ketika memasuki lokasi wisata tersebut, kontur jalan belum aspal dan banyak lubang disana sini. Kalau mobilnya ceper mesti lebih berhati-hati agar tidak menyeret batu.

Memasuki kawasan wisata Sungai Parbahingan ini kamu akan menjumpai pos yang akan menyetop kamu dan meminta uang kebersihan sebesar 15.000 kalo nggak salah (pake kwitansi padahal, tapi akunya lupa 😀). Setelah dari pos itu kamu akan menempuh jarak kira-kira 1 Km untuk sampai di sungai yang lebar itu.

Sungai Parbahingan

Sungai Parbahingan merupakan sungai dengan bebatuan yang landai dan air yang cukup deras. Kita bisa duduk berselonjor di atas bebatuannya sambil menikmati pijatan air. Jika ingin mendapatkan tendangan air yang lebih keras, cobalah duduk atau berdiri di bawah bebatuannya yang tinggi, tetapi harus hati-hati tergelincir dan terbawa arus.

Bagi kamu yang mau kesana untuk mandi-mandi atau hanya menikmati pemandangannya aku saranin…

Ada PADI di Arab

Stiker PADI di toko pasar Corniche

Selepas tawaf wada’ aku bergegas menuju ke tempat pemberhentian bus dimana bus biasa mengantar dan menjemput jamaah yang pergi ke Haram dari hotel atau sebaliknya. Jarak dari mataf ke tempat bus antar jemput lumayan jauh. Kira-kira 1 Km. Lumayan bikin betis jadi keras.

Tidak berapa lama bus tiba. “Amjad!” Maksudku memastikan bus itu berangkat ke Amjad Hotel. Pak supir mengangguk. Wajahnya tidak asing karena sering ternampak disekitaran hotel.

Didalam bus aku berbincang dengannya. Ternyata dia orang Madura yang kini bekerja di tanah haram sebagai supir bus. Sudah berumah tangga dan tinggal bersama istrinya di Jeddah.

“Jarang ya mas pulang kampung?”

“Tiap tahun saya pulang. Sayang kalo nggak pulang.” Jawabnya. Dia menjelaskan kalau perusahaannya tempat dia bekerja selalu memberikan tiket pulang kampung setiap tahun. Jadi sayang rasanya kalau fasilitas cuti tidak dimanfaatkan. Apalagi biaya tiket mudik gratis.

Baca lebih lanjut

Susah Belok

Menjadi suami yang pengertian itu susah susah gampang. Artinya susahnya itu dua kali lebih banyak dari gampangnya. “Pengertian” disini maksudnya pengertian sama isteri sendiri lo…

Kata meme meme yang tersebar di dunia maya. Isteri itu ingin dimengerti. Sikapnya yang sering berubah-ubah, bukan kulitnya ya dan suka bilang terserah itu lah yang kadang dapat menjerumuskan suami ke wilayah konflik dan perang dingin. Hehe…

Namun bagi suami yang bisa mengambil pelajaran dari setiap peristiwa pedih semacam itu. Kebiasan isteri seperti itu akan dapat dihadapi dengan tenang dan bijaksana asal dapat mengulik sebab musababnya.

Baca lebih lanjut

Ekspedisi ke Goa Kalong

kolam teh tarik

Berpose sejenak untuk meninggalkan jejak

Kumatikan tivi setelah film Despicable Me 3 selesai kutonton. Film yang sebulan lalu didonlot tapi baru sekarang ditonton. Kubuka lebar pintu depan. Ini hari sabtu Jam 09.00 wib dan di luar sudah panas. Cahaya matahari langsung berebut masuk ke dalam rumah dan membuat aku silau.

Istriku datang menghampiri dan merengek minta raon-raon, mungkin maksudnya round-round. Dia bilang ada tempat wisata baru yang dekat tempat kami tinggal.

“Ayo lah kesana…” pintanya.

“Apa masih ada itu tempat wisatanya? Nanti udah tutup?” Aku teringat sebuah tempat wisata di Sibolangit, telaga dua warna yang sudah ditutup karena longsor sampai menewaskan 19 orang wisatawan lokal. Ada juga yang tutup karena preman setempat seperti warung nasi di sebelah kantor.

“Ya gak tau. Coba cek gugel.”

Itu saran yang sulit dibantah. Entah kenapa sekarang sepertinya tergantung banget sama yang namanya gugel. Ada sedikit hal yang nggak tau langsung buka gugel. Apalagi kalo ada perdebatan soal mitos atau fakta kehidupan berumah tangga, maka penyelesaiannya dengan mengetik keyword di gugel. Gugel seperti kitab suci untuk generasi instan. Termasuk aku kayaknya. Sesat.

“Abang gak ada paket. Pinjam hape adek la.”

Aku ambil hapenya yang tergeletak di atas tivi kubus. Lalu kucari nama lokasi wisatanya dan jarak yang harus ditempuh untuk sampai kesana bila berangkat dari rumahku dengan menggunakan google map. Wow… dekat. Cuma 45 menit bila ditempuh dengan Baca lebih lanjut

Belah Duren di Musim Hujan

Di kota Tebing Tinggi saat ini lagi musim hujan. Tapi itu biasa. Yang tidak biasa adalah musim durian. Di jalan-jalan protokol terlihat buah berduri itu beselemak peak di pinggir jalan baik di atas trotoar maupun di atas mobil pick up. Bentuk buah duriannya pun bermacam-macam. Ada yang oval seperti telur. Ada yang berbentuk seperti pepaya. Ada yang sudah dibelah dan ada yang tinggal kulitnya karena sudah dimakan. Entah oleh siapa.

Gerombolan durian itu memang nampak menggoda jika dilihat sambil lalu dan korban dari godaan durian itu adalah isteriku. Malam itu sewaktu menjemputnya dari tempat kerja untuk pulang, dia bertanya dengan kalimat mencurigakan.

“Abang nggak pengen makan durian?”

Aku yang mendadak mendapat pertanyaan seperti itu segera merespon dengan cepat.

“Mmm… Kenapa? Adek kepengen durian ya?”

Dia tidak menjawab. Kata guru MAN ku dulu, kalau perempuan ditanya sesuatu dan dia diam, itu tanda setuju. Tapi guruku mencontohkan anak perempuan yang mau dijodohkan sama bapaknya. Mungkin bisa dianalogikan sama kejadian ini.

“Ya udah, kalo kepengen abang putar lagi nih keretanya.” Lalu kuputar keretaku dengan jari telunjuk seperti pemain basket profesional. Ada senyum diwajahnya. Itu artinya dia senang bakal makan durian dan lebih senang lagi kalau aku yang mentraktir.

Checkpoint durian itu ada di persimpangan. Kulihat beberapa buah durian tersusun rapi di atas mobil pick up. Aku memakirkan keretaku lalu memilah-milih durian, mengciumnya dengan hati-hati, meraba-raba durinya.

“Durian dari mana ini bang?” Tanyaku sama laki-laki tanggung yang ada di samping mobil pickup itu.

“Nggak tau.”

“Berapa bang harga yang ini?” Tanyaku sambil menunjukkan buah durian yang paling besar. Pastilah ini raja durian. Karena dia yang paling besar diantara durian yang ada disitu.

“Nggak tau.”

“Lho, abang yang jual?” Aku mulai emosi karena jawabannya selalu tidak tau.

“Bukan.”

“Dasar kampretos. Kirain yang jualan.” Tapi dalam hati.

Tak lama keluar anak laki-laki tanggung dari dalam mobil dan mendekati kami lalu pura-pura ramah. Pastilah orang ini yang jualan.

Kuulangi pertanyaan yang salah sasaran tadi. Katanya durian-durian ini dari Sipispis. Sebuah daerah yang letaknya tidak jauh dari kota Tebing Tinggi.

“Berapa harga yang ini?” Tanyaku sambil menunjukkan durian yang besarnya agak sedikit lebih kecil dari helm LTD.

“Kalo yang itu dua puluh ribu bang.”

“Kok mahal kali.”

“Wiiihhh… udah murah itu bang.”

“Kan durian dari Sipispis biasanya murah.”

“Wiiihhh… sama aja itu bang.”

Nggak kutanya “sama aja” itu maksudnya sama durian yang mana.

“Lima belas ribu ya, biar ambil dua.”

“Wiiihhh… janganlah bang.”

Anak tanggung ini selalu menjawab pake WIIIHHH… sambil mengayunkan kepalanya. Aneh.

Aku memilih-milih lagi. mencium dan meraba-raba lagi. Kubanting pelan durian itu ke lantai pickup. Biasanya kalo durian yang isinya lemak itu agak menggema bunyinya. Beppp… gitu.

Tiba-tiba yang kutanya tadi lari bersama seseorang yang berjenis kelamin sama dengan dia. Sepertinya mereka berebut masuk ke dalam mobil. Kudengar sepintas kalau anak tanggung yang ngomong pake wiiihhh tadi udah ngantuk dan dia mau tidur. Sedangkan partnernya entah baru kembali darimana dan harus gantian melayani pembeli.

Anak tanggung yang baru muncul tadi mendekatiku.

“Yang mana bang?” Dia nanya.

“Yang ini sama yang ini ya. Berapa harganya?” Aku menunjuk dua buah

“Tiga puluh lima ribu aja bang.” Dia jawab sambil megang pisau. Dia pasti bukan mau nodong.

“Mahal kali. Tiga puluh ribu ya.”

Dia mengangguk, terus pisaunya dia buat untuk memotong tali. Padahal tali itu bukan ayam.

Isteriku tadinya mau makan di tempat itu juga. Tapi akunya bilang di rumah aja. Supaya kalau tidak habis dimakan bisa disimpan di tupperware atau dikolak besoknya. Karena isteriku baik budi, dia menurut. Menurut siapa? Menurutku. Mungkin setan jahat bilang, “dasar suami egois”. Eh, jadi suudzon sama setan. Selepas si penjual mengikat durian itu, aku pun pulang sambil membawa isteriku yang menenteng durian.

Makan durian di lapak penjualnya itu sebenarnya seru. Kita nggak perlu belah duren sendiri jadi gak takut kena durinya. Kalau misalnya duren yang dibelah itu busuk atau mentah, bisa langsung ditukar sama durian juga. Sampai-sampai muncul sinetronnya “Durian Yang Tertukar”. Terus kalau makan disitu kita bisa pamer sama orang-orang yang lewat di situ, sama tukang parkir, sama orang yang jualan juga. Kulit duriannya menjadi tanggungjawab yang jualan karena tidak diwajibkan untuk dibawa pulang. Terus kalau kurang, kita bisa langsung pilih dan beli lagi. Repotnya adalah kalau mau cuci tangan dan mau ngelap mulut sehabis makan duren. Itu penjual cuma ngasi kobokan dengan air yang sedikit dan kain lap yang kumal. Hiiii… mulut siapa aja lah yang udah nempel disitu. 

Sementara kalau makannya di rumah agak sedikit kurang nyaman sama tetangga. Bau durian itu bisa memancing tetangga jadi kepingin durian atau bisa juga jadi mual kalau tetangga itu alergi durian.

Akhirnya aku belah durennya di rumah dan warnanya sedikit kekuningan. Orang menyebutnya itu durian tembaga. Ada juga yang menyebutnya durian mentega. Tapi perbedaan nama itu tidak menjadi masalah buat durian. Karena yang terpenting itu bukanlah bagaimana cara memakannya atau dimana memakannya, tapi bagaimana cara membelahnya dan sepertinya saat itu sedang turun hujan.

ke Pulau Berhala, the Dream Comes True II

Angin laut menyergap tubuh, menusuk lubang pori-pori, menitipkan hawa dingin ke sekujur tubuh. Namun tetap saja rasa dingin itu tidak lebih terasa ketimbang rasa kesal akibat pancing yang jatuh di dasar laut di bawah dermaga.

berhala bacaanAku dan Miko mencari-cari relawan yang mau menyelam untuk menemukan pancing itu. Kami bertanya pada marinir yang sedang bertugas disitu namun mereka menyarankan besok saja mencarinya. Sekarang sudah malam, air juga sudah pasang, akan sulit menemukannya. Begitu jawab mereka.

Betul juga. Namun kami belum puas. Kami melihat ada acik-acik sekira 2 orang sedang memakai pakaian menyelam. Pakaiannya nampak seperti manset berwarna kecoklatan dan ketat menyatu dengan tubuh. Jika dilihat sekilas akan nampak seperti tubuh telanjang yang berukir lukisan. Kami mencoba mendekati kedua pemuda yang sepertinya mirip bintang film Tiongkok itu dan menyapanya.

“Mau menyelam ya Ko…” Miko sok akrab. Menyapa dengan panggilan Koko, seolah-olah itu adalah abangnya. Padahal bukan.

“Iya.” Salah satu dari mereka menjawab sembari menyiapkan perlengkapan menyelam dan menembak. Kemudian mereka memakai sepatu yang telapaknya sangatlah panjang dan lembek. Seperti kaki katak. Yang seorang lagi membereskan pelampungnya. Di pelampungnya tertulis

Baca lebih lanjut