• Tulisan Teratas

  • Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui email.

    Bergabung dengan 342 pelanggan lain
  • Blog Stats

    • 182.844 hits
  • Arsip

  • Internet Sehat
  • Kategori

  • Yang sudi mampir

    Habib pada Misteri Tokek Bag. I
    Abdi Jaya pada Pelarian
    angga pratomo pada Pelarian
    Abdi Jaya pada Melepas Jenuh di Pantai Ujung…
    wahyuancol pada Melepas Jenuh di Pantai Ujung…
    Olivia Paquin pada Karang Anyar, Bak Telaga …
  • Alexa Certified Site Stats for www.m4rp4un6.wordpress.com
  • Dukung Wisata Jogja

    Yogyakarta / Jogja
  • award-luv-ur-blog-dari-fanny1
  • Yang Singgah

  • Meta

Morning Bus

Menikmati polusi udara pagi bagiku adalah hal yang biasa, karena setiap pagi aku sudah berada dalam mopen untuk menuju ke tempat kerja. Di dalam mopen aku bersama penumpang lain yang punya tujuan sama. Mereka berpakaian seragam dinas warna coklat, dan ada yang menyembunyikannya dibalik sweater. Barangkali untuk menjaga seragamnya dari debu atau kotoran lain yang mungkin bisa menodai seragamnya. Begitu pula yang aku lakukan. Namun bajuku lebih berisiko karena warnanya putih.

Penumpang perempuan pada umumnya lebih suka menggunakan masker. Menurut fungsinya, masker digunakan untuk melindungi pernafasan dari debu dan bau. Namun saat ini masker seakan menjadi tren tersendiri bagi orang-orang yang bepergian. Tren yang baik buat kesehatan sih. Tapi kalau digunakan di dalam mopen, nampaknya hanya untuk kamuflase atau berfungsi lain. Tidur akan lebih nyaman dan lebih percaya diri karena tidak kuatir ilernya menetes dan menganak sungai.

Ketika aku berada didalam mopen, sesekali aku memperhatikan ninja-ninja yang sedang terlelap. Kuperhatikan motif maskernya. Ada yang polos, berwarna-warni dan ada juga yang bermotif tokoh kartun kayak Doraemon atau Spongebob. Masker kartun Upin Ipin ada nggak ya? Harusnya sih ada.

Yang tidak memiliki masker biasanya menggunakan sisa ujung

Baca lebih lanjut

Kerja Kecil Untuk Impian Besar

duitMatahari sedang galak-galaknya di hari minggu siang itu, di sebuah pasar yang dipenuhi dengan hilir mudik pembeli mencari keperluannya masing-masing. Pasar minggu yang hanya beraktivitas sampai sore itu menjadi santapan warga dari berbagai desa sekitar untuk menuntaskan hajat hidup mereka.

Di pojokan dekat penjual molen, seorang remaja berdiri dekat sepeda motor butut. Menyandar sembari memegang setangnya. Alif namanya. Dahinya berkenyit menahan panas. “Kok lama kali sih Emak…” gumamnya dalam hati.

Alif sedang menunggu Emaknya yang membelikan sepatu sekolahnya. Sudah 1 bulan sejak sepatu itu rusak, baru hari ini Emak mengajaknya ke pasar. Memburu sepatu. Alif masih ingat perbincangan kemarin dengan kakaknya saat si kakak menjemur sepatunya yang habis dicuci.

“Alif, kenapa sepatumu ini? Ini kan sepatu yang 3 bulan lalu dibelikan emak, kok udah rusak gini?” Kakak menyodorkan monyong sepatu ke mukanya Alif. Mulut sepatu Alif terbuka sama seperti mulut Alif yang bingung mau menjawab pertanyaan kakaknya.

“Eh… Iya kak. Kemarin Alif main bolanya di sekolah pakai sepatu.” Jawab Alif yang seperti menganggap itu kejadian biasa.

“Kawan-kawanmu tidak pakai sepatu kalau main bola?” Tanya kakak lagi

“Nggak.”

“Jadi, kenapa Alif pakai?”

“Kaki Alif yang luka kena duri waktu mancing kemarin belum sembuh. Alif kuatir lukanya jadi tambah lebar kalo main bola kaki ayam.”

“Iya, tapi sekarang sepatumu yang mulutnya jadi lebar. Udah sana, cari lem. Biar kakak lem kan.”

“Gak usah kak. Biar minta belikan yang baru sama mamak.”

“Kamu ini ya. Mamak nggak punya duit lagi Lif. Lihat kita dari kemarin makan nasi sama ikan asin terus. Kamu malah minta belikan sepatu. Alih-alih nanti kita makan nasi sama garam aja lah.”

Alif terdiam. Suara kakak meninggi, sepertinya dia sedikit marah mendengar jawaban Alif.

“Makanya kamu nabung kayak kakak. Udah bisa beli sepatu sendiri. Buku tulis sendiri. Kamu jangan nambah susah mamak sama bapak lagi Lif. Kasian bapak sama mamak mau nyari duit dari mana lagi.”

Betul juga kata kakak Alif. Fatimah.

“Tapi kakak kan dikasi mamak uang jajan. Sedangkan Alif nggak.” Alif mencoba mencari alasan.

“Itu bukan uang jajan Alif… tapi uang dari hasil kakak jualan keripik.” Baca lebih lanjut

Gadis itu Kembali…

Gadis itu datang kembali kemari, tetap seperti yang dulu. Suara yang lantang tak kenal siang atau malam, menyembur bagai petir menghantam gendang telinga jika ada sedikit yang mencandainya.

Gadis itu kembali dengan bentuk tubuh yang sudah berbeda saat ia dulu tinggal sejenak di sini dan pergi ke sana. Tak ada lagi tonjolan diperutnya layaknya seorang perempuan yang mendambakan buah hati untuk melanjutkan tongkat estafet keturunan dari darah dagingnya. Malangnya, itu adalah buah dari garapan orang yang tak dia tahu siapa…

Seperti penuturan orang-orang didekatnya kalau darah dagingnya yang masih berhak menyadap air susunya Baca lebih lanjut

Akibat Ulah Jantan

0211042Semua orang membenciku, menganggap rendah, mengumpat, bahkan mengusirku dari tanah lahirku, yang lebih sadisnya lagi keluargaku mencampakkanku, tidak sudi menerimaku kembali dan memutuskan ikatan hubungan keluarga. Sebesar inikah beban yang harus ku tanggung. Apakah aku bersalah pada mereka. Apa benar aku bersalah…

Aku heran, walau hati ini luka, perih dan sakit sekali, tapi setetes air mata pun tak merembes ke kelopak mataku. Apa ada masalah dengan urat dan otot mataku. Aku ingin sekali menangis mengerang-ngerang, menjerit sekencang-kencangnya, tapi aku tak tahu bagaimana. Aku asyik berdiam di rumah yang rela menampungku, entah sampai kapan. Baca lebih lanjut